dakwatuna.com - OVJ dalam tulisan saya kali ini bukan Overa Van Java
sebagaimana yang dilakonkan Parto, Nunung, Sule dan kawan-kawannya yang sering
tayang di televisi. Melainkan sepenggal kisah nyata dalam kamus hidup
seseorang.
Sekitar tahun 2009 lalu, Oky
Septiana Dewi atau yang menjadi pemeran utama tokoh Anna dalam film “Ketika
Cinta Bertasbih” buah karya Habiburrahman El Shirazy sangat fenomenal di
kalangan perempuan muslim khususnya. Termasuk di lingkungan kampus, sosok Anna
yang berbalut pakaian sopan dengan jilbab trendy mengundang perhatian
kaum hawa.
Salah satu sorotan peran Mbak Oky
dalam film tersebut adalah cara berbusananya. Style pakaian muslimah
oleh para desainer dimodifikasi sedemikian rupa sehingga terkesan modis, rapi
dan tampil cantik. Wajah Mbak Oky yang khas Jawa juga semakin menjiwai peran
Anna Altafunnisa dalam film layar lebar tersebut.
Film KCB yang awalnya booming di
bioskop menyedot para muslimah untuk turut menjadi saksi peran yang dilakoni
Mbak Oky. Para penonton terutama kawula muslimah muda, karena serial cinta yang
ditayangkan tampil beda dari model pacaran sebagaimana yang berlaku dalam
masyarakat.
Suasana strategis tersebut
menginspirasi lembaga dakwah kampus UKMI Ar Rahman UNIMED untuk membuat pagelaran
“Overa Van Jilbab (OVJ)” dengan mengundang Mbak Oky. Acara direncanakan
sedemikian rupa agar berlangsung tertib serta memberi kesan dan memotivasi para
muslimah untuk mengenakan jilbab.
Dalam penuturan Mbk Oky ada kisah
menggelitik bagi saya dalam sejarah hidup dan perjuangannya untuk bisa jadi
artis namun tetap mengenakan jilbab. Kalimatnya yang paling terkesan adalah
dialog Mbak Oky dengan salah seorang temannya di Mushalla kampus, sewaktu
bercerita tentang pribadi Anna Altafunnisa.
Mbak Oky : Saya merasa
kurang pantas memerankan Anna dalam film KCB, karena pribadi yang digambarkan
dalam novel, sosok Anna adalah anak seorang Kiai pimpinan pondok pesantren,
kaya, berpendidikan (S2) dan shalihah. Sedangkan saya sebagaimana para akhwat
biasa.
Temannya :
Tidak, wajar seorang Anna Altafunnisa mendapat kemuliaan berupa keilmuan dan
keshalihan seperti itu karena keluarga dan lingkungan yang kondusif. Sedangkan
kamu berjuang mempertahankan jilbab (keshalihan) di tengah hirup pikuk
kehidupan yang menawarkan berjuta kenikmatan sesaat di samping menimba ilmu
yang sedang kamu geluti. Jadi sebenarnya Oky lebih pantas memerankan sosok
Anna.
Jawaban teman Mbak Oky selain
memupuk kePeDean juga menyiratkan makna yang dalam tentang eksistensi
perjuangan mengenakan jilbab. Bagi saya, jawaban tersebut menyentil ingatan
saya tentang masa lalu yang suram soal jilbab.
Saya mulai mengenakan jilbab sejak
kelas 4 SD dan termotivasi dari ceramah seorang ustadz. Usia yang masih dini
dalam pengambilan keputusan tersebut, mampu bertahan bukan untuk satu atau dua
hari saja, melainkan bertahun – tahun.
Sampai SMP kelas 2 semester genap,
jilbab yang biasanya melekat di kepala, telah lepas hanya karena ocehan salah
seorang kakak saya. Sebagai anak terakhir, kakak no 4 dengan saya beda 1 tahun
masuk sekolah. Ketika yayuk kelas 3 SMP, saya kelas 2 SMP di sekolah yang
berbeda.
Waktu itu mamak sudah melibatkan
anak-anak untuk belajar membersihkan dan merapikan rumah, termasuk memasak.
Kakak no 1 sudah menikah, kakak no 3 dan abang no 2 sudah bekerja di kota. Ya,
kami memang tinggal di desa. Jadi yang ada di rumah kami berempat, mamak,
bapak, yuk Misri dan saya.
Kesibukan emak dan bapak di sawah
semakin mengintenskan pekerjaan kerumahtanggaan dikerjakan oleh kami berdua,
yuk Misri dan saya. Hampir setiap hari ketika emak pulang dari sawah, yuk Mis
selalu ngadu ke emak atas perlakuan saya yang jarang bantuin cuci piring, cuci
baju, memasak, menyapu dan pekerjaan rumah lainnya.
Ya, saya waktu itu memang lebih suka
belajar. Di mana saya belajar ya di situ pula buku berserakan. Kalau belajar di
dapur, maka seusai belajar buku tetap ada di meja dapur, kadang di ruang tamu,
ruang TV atau di kamar. Bukan turut membantu, yang ada saya lebih suka
merepotkan yayuk untuk kembali merapikan rumah, termasuk meletakkan buku- buku
saya di tempat seharusnya, di rak buku. (Ups*…, jadi ketahuan dech. Hihi…:D)
Selain kurang suka membersihkan
rumah, juga faktor kelelahan. Ya, fisik saya memang tidak terbiasa kerja pakai
otot, tapi pakai otak. Yuk Mis juga sering memarahi termasuk membentak-bentak
saya. Salah satu kalimat yang sering mendarat di telinga saya adalah “Adek
pakai jilbab, tapi kelakuannya tak berjilbab. Masak pakai jilbab sering
dimarahi, tidak rapi, tidak suka bersih- bersih dan jorok”.
Masya Allah…, saya sangat tidak suka
dibentak-bentak dan terkesan berlebihan. Walau bagaimanapun saya juga mau
bersih-bersih walau jarang, tidak suka kotor walau kurang rapi dst. Ucapan yuk
Mis semakin membuat saya pemalas. Astaghfirullah…, ucapan adalah doa. Jadi hati-hati.
Wal hasil…, tepat di awal semester 2
kelas 2 SMP, saya lepaskan jilbab. Karena merasa semakin tersudut, tidak pantas
dan sebagainya. Walaupun ke sekolah masih berjilbab, namun saat pelajaran
penjaskes (olahraga) di lapangan saya lepaskan jilbab sebagaimana teman-teman
yang lain. Tidak hanya itu, saat mau keluar rumah seperti ke kedai juga tak
mengenakan jilbab lagi. Ya Allah… kasihan sekali saya :(.
Nilai agama di rapor juga turun,
yang biasanya nilai 9, perlahan jadi nilai 8 hingga tamat SMP. Alhamdulillah,
rutinitas shalat 5 waktu masih jalan. Terkadang saat mengenang di awal-awal
masa pakai jilbab, sayang rasanya dilepas begitu saja. Setelah perjuangan
menerima ejekan bertubi-tubi dari teman dan bertahan.
Ejekan waktu di awal-awal pakai
jilbab adalah alim (anak liar malam), alimet (alim tapi njelemet), botak,
sok-sok shalih dst. Tapi saya tahan dengan segala ejekan itu karena saya merasa
benar. Tapi untuk kalimat yuk Mis, saya tidak bisa menemukan alasan
mempertahankan jilbab. Sebab, teori yang berlaku di masyarakat dan yang saya
pahami adalah yang pakai jilbab yang shalih. Yang baik-baik, kalau ada yang
tidak baik tidak pantas pakai jilbab.
Sungguh, beramal harus pakai ilmu,
bukan karena keinginan pribadi tanpa landasan. Masa pubertas juga salah satu
faktor. Emosional yang meletup-letup, sedikit egois dan selalu ingin dimengerti
merupakan sifat-sifat bawaan saat pubertas.
Suatu hari, setelah shalat Maghrib
saya berjanji pada Allah. “Ya Allah, aku janji suatu saat akan pakai jilbab
lagi, tapi kalau sudah menikah”. (Haha…, dasar anak kecil, mikirnya instan*)
Allah Maha Bijaksana
Sungguh, tidak ada yang terlewatkan
bagi Allah. Dia Maha Mengetahui yang terlihat oleh mata dan yang tersembunyi
dalam hati. Termasuk kerinduan saya ingin mengenakan jilbab lagi. Pasca tamat
SMP, saya melanjutkan sekolah di SMK N 1 Stabat. Alhamdulillah :), ditunjukkan
jalan oleh Allah di minggu pertama awal masuk sekolah.
Hari Selasa di minggu pertama,
pelajaran agama masuk pada jam pelajaran ke 4 dan 5. Pesan Ibu Wardaningsih,
S.Pdi selaku guru agama adalah memerintahkan kepada seluruh siswa baru
(muslimah) untuk ikut acara Rohis jam 12.00-13.00 di Mushalla sekolah. Acara
yang digelar setiap hari Jum’at pasca pulang sekolah tersebut menjadi salah
satu penilaian agama, oleh karena itu bagi yang tidak hadir terancam merah
nilai agamanya.
Sebagai siswa baru, saya bukan takut
dengan nilai merah sehingga datang. Melainkan dari dalam hati memang ingin
sekali mendengarkan ceramah, lama sekali rasanya tidak dapat siraman rohani.
Dengan langkah semangat, saya beserta teman-teman hadir di acara Rohis. Ratusan
muslimah memadati Mushalla.
Materi yang disampaikan oleh kakak
pementor adalah tentang Jilbab. Kak Ismal menjelaskan bahwa mengenakan jilbab
adalah cara muslimah memenuhi kewajiban menutup aurat yang diperintahkan Allah
dan Rasul Nya. Sehingga kewajiban terletak pada menutup aurat, bukan memakai
jilbab. Jilbab adalah sarana yang digunakan untuk menutup aurat.
Aurat perempuan seluruh tubuh
kecuali muka dan telapak tangan. Oleh karena itu, harus memakai kaus kaki,
pakaian tidak boleh tipis, ketat dan membentuk tubuh. Menarik sekali ceramah
kak Ismal. Bahkan hari itu untuk pertama kalinya saya melihat perempuan
berjilbab besar, agak aneh awalnya di mata.
Untuk minggu ke dua dan seterusnya
perlahan peserta Rohis dapat dihitung jari. Hanya ada beberapa orang yang
bertahan karena ternyata menghadiri Rohis hanya anjuran oleh guru agama tanpa
memerahkan nilai rapor. Jadi secara alamiah yang menghadiri Rohis karena
tekanan duniawi akan tersingkir.
Karena saya terkesima dengan ceramah
kak Ismal, ba’da shalat Zhuhur saya menjumpainya dan bercerita tentang masa
lalu saya tentang jilbab. Kak Ismal tertawa kecil waktu mendengar janji saya
kepada Allah untuk mengenakan jilbab setelah menikah.
Ia pun menjelaskan bahwa kewajiban
memakai jilbab bukan setelah menikah, tetapi setelah baligh, lagi-lagi jawaban
kak Ismal menyejukkan hati saya :). Saya jadi berfikir bahwa selama saya
mengenakan jilbab dari kelas 4 SD- kelas 2 SMP hanya bonus tambahan kebiasaan
pakai jilbab. Justru setelah saya baligh malah saya lepaskan. Astaghfirullah…
:(
Hidayah dari Allah tidak hanya
diberikan kepada saya, tetapi juga sama yuk Mis. Sepulang sekolah di hari
Jum’at itu, saya temui yuk Mis yang sedang cuci piring di kos. Seperti biasa,
ia memang sangat rajin.
Yayuk sekolah di SMK Swasta Harapan
Stabat, sehingga kami 1 kos walaupun beda tempat sekolah. Kira-kira kami harus
berjalan sekitar 15 menit untuk sampai ke sekolah masing-masing, yayuk kelas 2
dan saya kelas 1.
Ada yang mengharukan saya dengan
ucapan yuk Mis waktu sedang cuci piring “Dek, kita pakai jilbab yuuuuuuuuk!”
Ucapnya semangat. Waw.., Allah pembuat skenario terbaik. Baru saja tadi di
sekolah bahas jilbab. Aha…
Ternyata yuk Mis kurang nyaman
setiap kali dilihat laki-laki karena parasnya memang cantik. Malah terkadang
orang menganggap saya kakaknya, padahal kan yuk Mis yang kakak saya. Ups*…
Hehe. :D
Alhamdulillah…, keesokan harinya
kami tidak hanya mengenakan jilbab waktu ke sekolah, tapi setiap kali keluar
kos. Sampai sekarang, walaupun yuk Mis sudah menikah dan memiliki satu anak, ia
masih setia dengan jilbab yang melekat di kepalanya, begitu pun saya. Semoga
terus istiqamah hingga akhir hayat. Aamiin… :)
Ketika saya kelas 2 SMK, yuk Mis
mengajari saya agar terbiasa mengurus urusan pribadi dengan mandiri. Mungkin
karena ia memikirkan nasib saya nanti kalau dia sudah tamat. Alhamdulillah..,
sejak kelas 3 SMK saya terbiasa mandiri hingga kini. Terbiasa jauh dari orang
tua dan mengurusi urusan pribadi sendiri. Tidak pemalas lagi ya.., cuma kurang
gesit kerjanya. Haha :D
Sedikit lagi tentang jilbab, Program
Kerja Industri (Prakerin) adalah salah satu jenjang yang harus diikuti oleh
setiap siswa SMK. Jurusan saya Sekretaris dan ditempatkan di kantor PDAM Tirta
Wampu Stabat. Waktu itu saya terketuk untuk membesarkan jilbab yang digunakan.
Akhirnya saya menemukan cara praktis
mempengaruhi lingkungan agar tidak terkejut dengan penampilan saya. Di hari
pertama prakerin, kami diserahkan oleh guru pembimbing kepada pihak instansi,
saya pakai seragam praktek dan memasukkan jilbab dalam jas, jadi terlihat
kecil. Hari kedua dan seterusnya saya buka jas, sehingga orang-orang kantor
menganggap saya sudah terbiasa pakai jilbab besar. Padahal baru saja. Hihihi…
:D
Hanya beberapa teman yang terkejut,
yaitu teman yang sama-sama dari 1 sekolah. Alhamdulillah…, mereka hanya
tersenyum dan berkomentar “Cie- cie…, makin shalihah yo!!!” Aamiin… jawabku
pelan sambil tersipu malu. :)
Cara ini saya pakai karena kalau
pakai jilbab besar di sekolah, saya belum PeDe dan siap menerima ejekan yang
bakal akan saya terima. Astaghfirullah…, ejekan semasa kecil dulu ternyata
sedikit membuat saya trauma atas perubahan yang saya lakukan.
Terbukti, anggapan saya salah. Tidak
hanya teman-teman prakerin yang justru menerima dengan baik, pasca prakerin dan
kembali ke sekolah, teman yang lain juga tidak mengejek. Alhamdulillah…,
walaupun saya satu-satunya siswa yang berjilbab besar, tapi tak seorang pun
yang mencela. ^^
Saudariku yang dirahmati Allah,
Yuuuk! Kita menutup aurat dengan berjilbab. Beramal dengan ilmu. Berjilbab
dengan niat yang tulus memenuhi perintah Allah yang tersurat dalam Al-Qur’an
An-Nur ayat 31. “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya …”
Begitu Overa Van Jilbab ala Mbak Oky
dan Minie Akhwat. Hehe…:) Lalu bagaimana dengan ceritamu? Bagaimanapun sejarah
hidup kita, yang paling penting beramal dengan ilmu, bukan karena ikut-ikutan.
Hikmah menggunakan jilbab salah satunya adalah kita lebih dihargai mahal.
Serius…
Harga jilbab merek TAAJ berkisar
sekitar Rp. 160 ribuan. Masih jilbab, belum kaus kaki dan manset sebagai kain
tambahan menutup aurat, jilbab yang digunakan juga harus dari bahan tebal. Atau
paling tidak jika tipis di-double. Belum asesoris jilbab, baju dan rok.
Subhanallah…, harga perempuan shalihah memang MAHAL… Hihihi :D
Jangan tunda sebelum terlambat.
Harga perjuangan menutup aurat sama
dengan harga mencari Cinta Allah…, Zat yang Maha Mencintai Keindahan. ^^
Wallahu ‘alam.