Selasa, 12 Agustus 2014

OVJ




dakwatuna.com - OVJ dalam tulisan saya kali ini bukan Overa Van Java sebagaimana yang dilakonkan Parto, Nunung, Sule dan kawan-kawannya yang sering tayang di televisi. Melainkan sepenggal kisah nyata dalam kamus hidup seseorang.

Sekitar tahun 2009 lalu, Oky Septiana Dewi atau yang menjadi pemeran utama tokoh Anna dalam film “Ketika Cinta Bertasbih” buah karya Habiburrahman El Shirazy sangat fenomenal di kalangan perempuan muslim khususnya. Termasuk di lingkungan kampus, sosok Anna yang berbalut pakaian sopan dengan jilbab trendy mengundang perhatian kaum hawa.

Salah satu sorotan peran Mbak Oky dalam film tersebut adalah cara berbusananya. Style pakaian muslimah oleh para desainer dimodifikasi sedemikian rupa sehingga terkesan modis, rapi dan tampil cantik. Wajah Mbak Oky yang khas Jawa juga semakin menjiwai peran Anna Altafunnisa dalam film layar lebar tersebut.

Film KCB yang awalnya booming di bioskop menyedot para muslimah untuk turut menjadi saksi peran yang dilakoni Mbak Oky. Para penonton terutama kawula muslimah muda, karena serial cinta yang ditayangkan tampil beda dari model pacaran sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat.

Suasana strategis tersebut menginspirasi lembaga dakwah kampus UKMI Ar Rahman UNIMED untuk membuat pagelaran “Overa Van Jilbab (OVJ)” dengan mengundang Mbak Oky. Acara direncanakan sedemikian rupa agar berlangsung tertib serta memberi kesan dan memotivasi para muslimah untuk mengenakan jilbab.

Dalam penuturan Mbk Oky ada kisah menggelitik bagi saya dalam sejarah hidup dan perjuangannya untuk bisa jadi artis namun tetap mengenakan jilbab. Kalimatnya yang paling terkesan adalah dialog Mbak Oky dengan salah seorang temannya di Mushalla kampus, sewaktu bercerita tentang pribadi Anna Altafunnisa.

Mbak Oky    : Saya merasa kurang pantas memerankan Anna dalam film KCB, karena pribadi yang digambarkan dalam novel, sosok Anna adalah anak seorang Kiai pimpinan pondok pesantren, kaya, berpendidikan (S2) dan shalihah. Sedangkan saya sebagaimana para akhwat biasa.

Temannya     : Tidak, wajar seorang Anna Altafunnisa mendapat kemuliaan berupa keilmuan dan keshalihan seperti itu karena keluarga dan lingkungan yang kondusif. Sedangkan kamu berjuang mempertahankan jilbab (keshalihan) di tengah hirup pikuk kehidupan yang menawarkan berjuta kenikmatan sesaat di samping menimba ilmu yang sedang kamu geluti. Jadi sebenarnya Oky lebih pantas memerankan sosok Anna.

Jawaban teman Mbak Oky selain memupuk kePeDean juga menyiratkan makna yang dalam tentang eksistensi perjuangan mengenakan jilbab. Bagi saya, jawaban tersebut menyentil ingatan saya tentang masa lalu yang suram soal jilbab.

Saya mulai mengenakan jilbab sejak kelas 4 SD dan termotivasi dari ceramah seorang ustadz. Usia yang masih dini dalam pengambilan keputusan tersebut, mampu bertahan bukan untuk satu atau dua hari saja, melainkan bertahun – tahun.

Sampai SMP kelas 2 semester genap, jilbab yang biasanya melekat di kepala, telah lepas hanya karena ocehan salah seorang kakak saya. Sebagai anak terakhir, kakak no 4 dengan saya beda 1 tahun masuk sekolah. Ketika yayuk kelas 3 SMP, saya kelas 2 SMP di sekolah yang berbeda.

Waktu itu mamak sudah melibatkan anak-anak untuk belajar membersihkan dan merapikan rumah, termasuk memasak. Kakak no 1 sudah menikah, kakak no 3 dan abang no 2 sudah bekerja di kota. Ya, kami memang tinggal di desa. Jadi yang ada di rumah kami berempat, mamak, bapak, yuk Misri dan saya.

Kesibukan emak dan bapak di sawah semakin mengintenskan pekerjaan kerumahtanggaan dikerjakan oleh kami berdua, yuk Misri dan saya. Hampir setiap hari ketika emak pulang dari sawah, yuk Mis selalu ngadu ke emak atas perlakuan saya yang jarang bantuin cuci piring, cuci baju, memasak, menyapu dan pekerjaan rumah lainnya.

Ya, saya waktu itu memang lebih suka belajar. Di mana saya belajar ya di situ pula buku berserakan. Kalau belajar di dapur, maka seusai belajar buku tetap ada di meja dapur, kadang di ruang tamu, ruang TV atau di kamar. Bukan turut membantu, yang ada saya lebih suka merepotkan yayuk untuk kembali merapikan rumah, termasuk meletakkan buku- buku saya di tempat seharusnya, di rak buku. (Ups*…, jadi ketahuan dech. Hihi…:D)

Selain kurang suka membersihkan rumah, juga faktor kelelahan. Ya, fisik saya memang tidak terbiasa kerja pakai otot, tapi pakai otak. Yuk Mis juga sering memarahi termasuk membentak-bentak saya. Salah satu kalimat yang sering mendarat di telinga saya adalah “Adek pakai jilbab, tapi kelakuannya tak berjilbab. Masak pakai jilbab sering dimarahi, tidak rapi, tidak suka bersih- bersih dan jorok”.

Masya Allah…, saya sangat tidak suka dibentak-bentak dan terkesan berlebihan. Walau bagaimanapun saya juga mau bersih-bersih walau jarang, tidak suka kotor walau kurang rapi dst. Ucapan yuk Mis semakin membuat saya pemalas. Astaghfirullah…, ucapan adalah doa. Jadi hati-hati.

Wal hasil…, tepat di awal semester 2 kelas 2 SMP, saya lepaskan jilbab. Karena merasa semakin tersudut, tidak pantas dan sebagainya. Walaupun ke sekolah masih berjilbab, namun saat pelajaran penjaskes (olahraga) di lapangan saya lepaskan jilbab sebagaimana teman-teman yang lain. Tidak hanya itu, saat mau keluar rumah seperti ke kedai juga tak mengenakan jilbab lagi. Ya Allah… kasihan sekali saya :(.

Nilai agama di rapor juga turun, yang biasanya nilai 9, perlahan jadi nilai 8 hingga tamat SMP. Alhamdulillah, rutinitas shalat 5 waktu masih jalan. Terkadang saat mengenang di awal-awal masa pakai jilbab, sayang rasanya dilepas begitu saja. Setelah perjuangan menerima ejekan bertubi-tubi dari teman dan bertahan.

Ejekan waktu di awal-awal pakai jilbab adalah alim (anak liar malam), alimet (alim tapi njelemet), botak, sok-sok shalih dst. Tapi saya tahan dengan segala ejekan itu karena saya merasa benar. Tapi untuk kalimat yuk Mis, saya tidak bisa menemukan alasan mempertahankan jilbab. Sebab, teori yang berlaku di masyarakat dan yang saya pahami adalah yang pakai jilbab yang shalih. Yang baik-baik, kalau ada yang tidak baik tidak pantas pakai jilbab.

Sungguh, beramal harus pakai ilmu, bukan karena keinginan pribadi tanpa landasan. Masa pubertas juga salah satu faktor. Emosional yang meletup-letup, sedikit egois dan selalu ingin dimengerti merupakan sifat-sifat bawaan saat pubertas.

Suatu hari, setelah shalat Maghrib saya berjanji pada Allah. “Ya Allah, aku janji suatu saat akan pakai jilbab lagi, tapi kalau sudah menikah”. (Haha…, dasar anak kecil, mikirnya instan*)

Allah Maha Bijaksana

Sungguh, tidak ada yang terlewatkan bagi Allah. Dia Maha Mengetahui yang terlihat oleh mata dan yang tersembunyi dalam hati. Termasuk kerinduan saya ingin mengenakan jilbab lagi. Pasca tamat SMP, saya melanjutkan sekolah di SMK N 1 Stabat. Alhamdulillah :), ditunjukkan jalan oleh Allah di minggu pertama awal masuk sekolah.

Hari Selasa di minggu pertama, pelajaran agama masuk pada jam pelajaran ke 4 dan 5. Pesan Ibu Wardaningsih, S.Pdi selaku guru agama adalah memerintahkan kepada seluruh siswa baru (muslimah) untuk ikut acara Rohis jam 12.00-13.00 di Mushalla sekolah. Acara yang digelar setiap hari Jum’at pasca pulang sekolah tersebut menjadi salah satu penilaian agama, oleh karena itu bagi yang tidak hadir terancam merah nilai agamanya.

Sebagai siswa baru, saya bukan takut dengan nilai merah sehingga datang. Melainkan dari dalam hati memang ingin sekali mendengarkan ceramah, lama sekali rasanya tidak dapat siraman rohani. Dengan langkah semangat, saya beserta teman-teman hadir di acara Rohis. Ratusan muslimah memadati Mushalla.

Materi yang disampaikan oleh kakak pementor adalah tentang Jilbab. Kak Ismal menjelaskan bahwa mengenakan jilbab adalah cara muslimah memenuhi kewajiban menutup aurat yang diperintahkan Allah dan Rasul Nya. Sehingga kewajiban terletak pada menutup aurat, bukan memakai jilbab. Jilbab adalah sarana yang digunakan untuk menutup aurat.

Aurat perempuan seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Oleh karena itu, harus memakai kaus kaki, pakaian tidak boleh tipis, ketat dan membentuk tubuh. Menarik sekali ceramah kak Ismal. Bahkan hari itu untuk pertama kalinya saya melihat perempuan berjilbab besar, agak aneh awalnya di mata.

Untuk minggu ke dua dan seterusnya perlahan peserta Rohis dapat dihitung jari. Hanya ada beberapa orang yang bertahan karena ternyata menghadiri Rohis hanya anjuran oleh guru agama tanpa memerahkan nilai rapor. Jadi secara alamiah yang menghadiri Rohis karena tekanan duniawi akan tersingkir.

Karena saya terkesima dengan ceramah kak Ismal, ba’da shalat Zhuhur saya menjumpainya dan bercerita tentang masa lalu saya tentang jilbab. Kak Ismal tertawa kecil waktu mendengar janji saya kepada Allah untuk mengenakan jilbab setelah menikah.

Ia pun menjelaskan bahwa kewajiban memakai jilbab bukan setelah menikah, tetapi setelah baligh, lagi-lagi jawaban kak Ismal menyejukkan hati saya :). Saya jadi berfikir bahwa selama saya mengenakan jilbab dari kelas 4 SD- kelas 2 SMP hanya bonus tambahan kebiasaan pakai jilbab. Justru setelah saya baligh malah saya lepaskan. Astaghfirullah… :(

Hidayah dari Allah tidak hanya diberikan kepada saya, tetapi juga sama yuk Mis. Sepulang sekolah di hari Jum’at itu, saya temui yuk Mis yang sedang cuci piring di kos. Seperti biasa, ia memang sangat rajin.

Yayuk sekolah di SMK Swasta Harapan Stabat, sehingga kami 1 kos walaupun beda tempat sekolah. Kira-kira kami harus berjalan sekitar 15 menit untuk sampai ke sekolah masing-masing, yayuk kelas 2 dan saya kelas 1.

Ada yang mengharukan saya dengan ucapan yuk Mis waktu sedang cuci piring “Dek, kita pakai jilbab yuuuuuuuuk!” Ucapnya semangat. Waw.., Allah pembuat skenario terbaik. Baru saja tadi di sekolah bahas jilbab. Aha…

Ternyata yuk Mis kurang nyaman setiap kali dilihat laki-laki karena parasnya memang cantik. Malah terkadang orang menganggap saya kakaknya, padahal kan yuk Mis yang kakak saya. Ups*… Hehe. :D

Alhamdulillah…, keesokan harinya kami tidak hanya mengenakan jilbab waktu ke sekolah, tapi setiap kali keluar kos. Sampai sekarang, walaupun yuk Mis sudah menikah dan memiliki satu anak, ia masih setia dengan jilbab yang melekat di kepalanya, begitu pun saya. Semoga terus istiqamah hingga akhir hayat. Aamiin… :)

Ketika saya kelas 2 SMK, yuk Mis mengajari saya agar terbiasa mengurus urusan pribadi dengan mandiri. Mungkin karena ia memikirkan nasib saya nanti kalau dia sudah tamat. Alhamdulillah.., sejak kelas 3 SMK saya terbiasa mandiri hingga kini. Terbiasa jauh dari orang tua dan mengurusi urusan pribadi sendiri. Tidak pemalas lagi ya.., cuma kurang gesit kerjanya. Haha :D

Sedikit lagi tentang jilbab, Program Kerja Industri (Prakerin) adalah salah satu jenjang yang harus diikuti oleh setiap siswa SMK. Jurusan saya Sekretaris dan ditempatkan di kantor PDAM Tirta Wampu Stabat. Waktu itu saya terketuk untuk membesarkan jilbab yang digunakan.

Akhirnya saya menemukan cara praktis mempengaruhi lingkungan agar tidak terkejut dengan penampilan saya. Di hari pertama prakerin, kami diserahkan oleh guru pembimbing kepada pihak instansi, saya pakai seragam praktek dan memasukkan jilbab dalam jas, jadi terlihat kecil. Hari kedua dan seterusnya saya buka jas, sehingga orang-orang kantor menganggap saya sudah terbiasa pakai jilbab besar. Padahal baru saja. Hihihi… :D

Hanya beberapa teman yang terkejut, yaitu teman yang sama-sama dari 1 sekolah. Alhamdulillah…, mereka hanya tersenyum dan berkomentar “Cie- cie…, makin shalihah yo!!!” Aamiin… jawabku pelan sambil tersipu malu. :)

Cara ini saya pakai karena kalau pakai jilbab besar di sekolah, saya belum PeDe dan siap menerima ejekan yang bakal akan saya terima. Astaghfirullah…, ejekan semasa kecil dulu ternyata sedikit membuat saya trauma atas perubahan yang saya lakukan.

Terbukti, anggapan saya salah. Tidak hanya teman-teman prakerin yang justru menerima dengan baik, pasca prakerin dan kembali ke sekolah, teman yang lain juga tidak mengejek. Alhamdulillah…, walaupun saya satu-satunya siswa yang berjilbab besar, tapi tak seorang pun yang mencela. ^^

Saudariku yang dirahmati Allah, Yuuuk! Kita menutup aurat dengan berjilbab. Beramal dengan ilmu. Berjilbab dengan niat yang tulus memenuhi perintah Allah yang tersurat dalam Al-Qur’an An-Nur ayat 31. “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya …”

Begitu Overa Van Jilbab ala Mbak Oky dan Minie Akhwat. Hehe…:) Lalu bagaimana dengan ceritamu? Bagaimanapun sejarah hidup kita, yang paling penting beramal dengan ilmu, bukan karena ikut-ikutan. Hikmah menggunakan jilbab salah satunya adalah kita lebih dihargai mahal. Serius…

Harga jilbab merek TAAJ berkisar sekitar Rp. 160 ribuan. Masih jilbab, belum kaus kaki dan manset sebagai kain tambahan menutup aurat, jilbab yang digunakan juga harus dari bahan tebal. Atau paling tidak jika tipis di-double. Belum asesoris jilbab, baju dan rok. Subhanallah…, harga perempuan shalihah memang MAHAL… Hihihi :D

Jangan tunda sebelum terlambat.

Harga perjuangan menutup aurat sama dengan harga mencari Cinta Allah…, Zat yang Maha Mencintai Keindahan. ^^

Wallahu ‘alam.





JILBAB MUSLIMAH


Jilbab itu = bukan budaya
orang arab
jilbab itu = bukan untuk
mempercantik wajah
Jilbab itu = bukan untuk
terlihat sholehah
Jilbab itu = bukan untuk
main main
Jilbab itu = bukan untuk di
jadikan perhiasan Akan
tetapi,
jilbab itu untuk menutupi aurat.. Jilbab itu
adalah
kewajiban setiap muslimah.. Mau jelek mau
Cantik
Mau yang berakhlak baek
Mau yang berakhlak buruk
Mau yang putih mau yang
item juga ke. Memakai jilbab itu
adalah suatu kewajiban bagi
setiap Muslimah.
Maka
berjilbablah dgn baik dan
benar Berdasarkan Syar'i..
Inshaa Allah Akhlakpun akan Menjadi Baik